Berita Vaksin

Berita Vaksin - Vaccine News

Adalah tempat untuk membaca dan mengetahui hal terbaru tentang penelitian dan perkembangan vaksin didunia, berita akan dirangkum dari berbagai sumber ilmiah dan populer yang bisa dipercaya dan mempunyai kredibilitas tinggi.

Halaman ini dikelolah secara ilmiah dan penuh tanggung jawab oleh seorang dokter yang mempunyai latar belakang pendidikan dan pelatihan tentang vaksin dan vaksinasi, sehingga apa yang dipaparkan di halaman ini bisa dipertanggung jawabkan.

Wednesday, December 4, 2013

Berita Vaksin - Data Imunisasi Bayi dan Anak Se Dunia

Berita Vaksin - Data Imunisasi Bayi dan Anak Se Dunia

Semenjak vaksin ditemukan oleh para ilmuwan kedokteran, maka cerita dan publikasi sudah banyak tentang manfaat dan kegunaan vaksin untuk kesehatan umat manusia, bahwa dengan pemberian vaksinasi yang tepat, akan menghindarkan penyakit infesi yang bisa dicegah dengan vaksinasi yang tepat, mengurangi angka kesakitan bayi dan anak, bahkan mengurangi angka kecacatan fisik dan menurunkan angka kematian bayi dan anak diseluruh dunia.

Meskipun sudah begitu banyak fakta dan bukti, yang disodorkan dengan gamblang dan nyata, dengan angka yang berbicara tegas, tetapi masih saja banyak orang bahkan orang tua yang bersikap curiga, berprasangka buruk terhadap tujuan dan manfaat vaksin dan vaksinasi bagi bayi, anak dan keluarga mereka.
Akibatnya banyak dari mereka yang menolak untuk diberikan vaksinasi bagi bayi anak dan anggota keluarga mereka.
Sehingga dari waktu ke waktu, kita masih sering mendengar tentang adanya Kejadian Luar Biasa (KLB) penyakit infeksi anak yang terjadi didaerah atau negara tertentu, misalnya penyakit polio yang merebak didesa Cidahu, Sukabumi tahun 2005 yang lalu, lalu penyakit difteri yang masih meraja lela di daerah Jawa Timur sejak akhir tahun 2011, kemudian juga penyakit campak dan penyakit infeksi bayi yang lain, yang seharusnya penyakit penyakit infeksi ini sudah hilang dari muka bumi ini sekian puluh tahun yang lalu, bila saja kita semua patuh dan mau memberikan vaksin dan vaksinasi bagi bayi dan anak kita

Untuk memperlihatkan keadaan nyata tentang vaksin dan hasil vaksinasi yang telah dilakukan diseluruh dunia, maka kami ingin mengajukan beberapa data vaksinasi dan hasilnya dari Badan Kesehatan Dunia atau WHO dan juga dari UNICEF .  


Peningkatan Jumlah Vaksinasi Baru dan Vaksinasi yang Kurang Diminati :

Vaksin Hepatitis B 
Pada akhir tahun 2012 telah menjadi program vaksinasi nasional di 181 negara diseluruh dunia.
Angka cakupan global untuk vaksinasi hepatitis B lengkap 3 dosis telah mencapai 79%, dengan rincian sebagai berikut : Di daerah Pacific Barat dan Amerika angka cakupan mencapai 91%, dan Asia Tenggara mencapai 72% ditahun 2012 dibandingkan hanya 56% pada tahun 2011.  


Vaksin Haemophilus Influenza Type B (Hib Vaksin)
Vaksin ini mulai diperkenalkan pada akhir tahu 2011 di 184 negara (termasuk bagian negara Belarus, India, Maldive dan Nigeria) yang meningkat dari hanya 177 negara pada tahun 2011.  

Angka cakupan imunisasi global vaksin Hib sekitar 45% pada tahun 2012, yang mencapai 91% di Amerika, tetapi hanya 11% dan 14% saja di daerah Asia Tenggara dan daerah Pacific Barat.



Vaksin Rubella (Vaksin Campak Jerman) 
 Telah dijadikan program vaksinasi nasional di 134 negara sejak akhir tahun 2012, yang meningkat dari hanya 85 negara saja pada tahun 1996.
Telah terjadi perkembangan yang menggembirakan, dengan angka pencapaian 99.99% terhadap eliminasi penyakit rubella dan CRS (Congenital Rubella Syndrome) di Amerika, antara tahun 1998 dan 2012.   



Vaksin Gondongan (Mumps Vaccine) 
Vaksin ini dimasukkan dalam program vaksinasi nasional di 120 negara pada akhir tahun 2012.

Vaksin Yellow Fever (Vaksin Demam Kuning)  
Vaksin ini juga dibuat menjadi program vaksinasi nasional di 36 negara dan daerah endemik potensial di benua Agrika dan negara negara Amerika Latin.


Maternal and Neonatal Tetanus (MNT) atau
Tetanus Post Partum dan Tetanus Neonatorum
Sebanyak 103 negara telah menyediakan vaksin Tetanus Toksoid (vaksin TT) untuk mencegah kejadian Tetanus Post Partum dan Tetanus Neonatorum. 
Diberikan paling sedikit 2 dosis vaksin TT atau vaksin dT dengan cakupan angka vaksinasi yang 81% pada tahun 2012.
Hingga tahun 2012, masalah Tetanus Post Partum dan Tetanus Neonatorum (MNT) masih menjadi  masalah kesehatan masyarakat di 30 negara di Afrika dan Asia.


Vaksin Polio
Cakupan vaksinasi polio lengkap 3 dosis didunia adalah sebesar 84% pada tahun 2012.
Jumlah angka kesakitan penyakit polio tahun 2013 adalah sebanyak 293 kasus (dengan 223 kasus karena infeksi virus polio liar = wild polio virus)
Perkiraan kasus polio seluruh dunia pada tahun 1988 adalah 350.000 kasus. 

Jumlah negara endemik polio pada tahun 2013 ada 3, yaitu Nigeria, Afganistan dan Pakistan
Dari negara endemik tesebut, sering terjadi penyebaran virus polio liar ke negara atau daerah yang telah dinyatakan bebas penyakit polio dan bebas virus polio. (http://selukbelukvaksin.com/?p=1732)


Vaksin Campak (Measles Vaccine)
Cakupan angka vaksinasi campak dosis pertama pada anak yang berulang tahun ke 2, pada  tahun 2012 adalah sebesar 84%
Jumlah negara yang memasukkan pemberian dosis ke 2 vaksin campak dalam program vaksinasi nasional adalah sebanyak 146 negara (75% dari 194 negara)
Perkiraan jumlah angka kematian bayi dan anak karena penyakit campak adalah 157.000 jiwa pada tahun 2011


Vaksin Baru

Beberapa tahun terkahir ini, telah diperkenalkan jenis vaksin baru kepada masyarakat, antara lain, vaksin pneumokokus untuk mencegah penyakit infeksi paru, vaksin Human Papilloma Virus (vaksin HPV) untuk mencegah kanker daerah leher rahim, juga vaksin rotavirus, untuk menghindarkan bayi kita dari infeksi rotavirus penyebab diare hebat.

Berikut ini adalah paparan tentang kapan vaksin ini diperkenalkan dan sudah berapa negara didunia yang mempergunakan vaksin ini dalam program vaksinasi nasionla negara tersebut


Vaksin Pneumokokal (Pneumococcal Conjugate Vaccines - PCV) 
Tahun 2012 vaksin ini telah dipergunakan di 88 negara, termasuk Republik Demokratik Congo dan Kazakhstan, telah meningkat dari 73 negara pada tahun 2011.


Vaksin Rotavirus
Pada akhir tahn 2012, vaksin ini telah dipergunakan di 41 negara, termasuk negara Zimbabwe


Vaksin Human Papilloma Virus (HPV Vaccine)
Pada akhir tahun 2012, sebanyak 42 negara didunia telah mempergunakan vaksin HPV ini untuk mencegah angka kesakitan dan kematian akibat kanker leher rahim pada wanita dan remaja putri mereka.

Untuk ketiga vaksin baru tersebut, telah bisa diperoleh di Indonesia dengan mudah. 


Anak anak yang tidak terlindungi
Kita jangan bergembira dulu hanya dengan melihat pencapaian diatas, karena masih banyak bayi dan anak yang hidup dinegara atau didaerah yang tidak terjangkau oleh vaksin dan usaha vaksinasi.

Hal ini mungkin karena letak geografis, kemiskinan, tapi lebih banyak karena adanya konflik senjata karena perbedaan keyakinan, karena masalah etnik dan suku, sehingga usaha cakupan vaksin dan vaksinasi belum bisa menjangkau bayi dan anak anak ini.

Misalnya saja, bayi dan anak anak dibawah usia satu tahun yang tidak mendapatkan imunisasi DTP3 vaksin ada sebanyak 22.6 juta jiwa pada tahun 2012 dibandingkan 22.3 jiwa pada tahun 2011.

Lebih dari 7% bayi dan anak anak ini hidup di 10 negara, yaitu : negara Republik Demokratik Congo, Ethiopia, India, Indonesia, Iraq, Nigeria, Pakistan, Philipina, Uganda dan Afrika Selatan.


Berapa angka kematian bayi dan anak karena penyakit infeksi yang bisa dicegah dengan vaksinasi ?
Data WHO memperkirakan sebanyak 1.5 juta jiwa setahun, dengan rincian sebagai berikut:

Kematian karena Hib 199.000 jiwa
Kematian karena Pertusis 195.000 jiwa
Kematian karena Campak 118.000 jiwa
Kematian karena Tetanus Neonatorum 59.000 jiwa
Kematian karena tetanus (non neonatorum) 2.000 jiwa 
Kematian karena penyakit Pneumokokus 476.000 jiwa
Kematian karena Rotavirus 453.000 jiwa


Perkiraan semua kematian bayi dan anak berusia < 5 tahun (0 - 59 bulan) di tahun 2008 adalah sebanyak 8.8 juta jiwa. Hampir 17% dari semua kematian ini sebenarnya bisa dicegah dengan pemberian vaksinasi 

Perkiraan semua kematian anak berusia 1 - 59 bulan adalah sebanyak 5.2 juta jiwa. Sekitar 29% kematian ini bisa dicegah dengan vaksinasi 

Jadi kita telah melihat apa yang telah diberikan oleh usaha vaksin dan vaksinasi dan kita menyadari bahwa usaha preventif ini belum maksimal, karena dibalik cerita sukses vaksin dan usaha vaksinasi, sebaliknya kita juga selalu diingatkan masih adanya bayi dan anak  anak diseluruh dunia, yang setiap saat kelangsungan hidup mereka terancam oleh berbagai macam penyakit infeksi.

Salah satu usaha yang paling jitu, bermanfaat dan efisien adalah dengan memberikan vaksin dan vaksinasi kepada semua bayi dan anak diseluruh dunia, dengan meningkatkan angka cakupan vaksinasi, maka akan menjamin terjadinya yang disebut HERD IMMUNITY atau Kekebalan Kelompok, sehingga akan mencegah terjadinya penularan penyakit infeksi yang bisa kita cegah dan hindarkan dengan vaksinasi.
Adalah lebih baik, jika kita berhasil menghilangkan / mengeliminasi penyakit infeksi tersebut dari muka bumi ini seperti misalnya penyakit cacar air variola. 


Kesimpulan:

  • Cakupan Imunisasi Global apada tahun 2012 telah berhasil mencegah sekitar 2 juta hingga 3 juta kematian setiap tahun dari semua kelompok usia bayi dan anak, akibat menderita penyakit difteri, tetanus, pertusis (batuk rejan) dan measles atau penyakit campak.

  • Pada tahun 2012, diperkirakan sekitar 83% (111 juta) bayi disekuruh dunia telah mendapatkan perlindungan dengan 3 dosis vaksin difteri, tetanus dan pertusis (DTP3)

  • 3 daerah regional - yaitu Amerika, Eropa dan Pacific Barat mencapai cakupan vaksinasi DTP3 hingga 90%. Cakupan vaksinasi DTP3 di region Pacific Barat bahkan mencapai 97%.  

  • Jumlah negara yang angka cakupan vaksinasi DTP3 mencapai 80% atau lebih, pada tahun 2012 : ada 165 negara, dibandingkan 164 negara pada tahun 2011.
  • Sedangkan jumlah negara yang angka cakupan imunisasi DTP3 mencapai 90% atau lebih terdiri 131 negara pada tahun 2012, dibandingkan 128 negara pada tahun 2011.


Vaccine Saves Lives !


Source:
For the coverage estimates and estimation of number
of children vaccinated or not
vaccinated: WHO/UNICEF coverage estimates 2012 revisi
on, July 2013, available from:
http://apps.who.int/immunization_monitoring/globals
ummary/timeseries/tswucoverage
bcg.htm




 
 




 
.
 

Friday, November 1, 2013

Berita Vaksin - Hubungan Demam Kejang Dengan Usia Saat Imunisasi Vaksin Campak / Measles

Berita Vaksin - Hubungan Kejang Demam Dengan Usia Saat Imunisasi Vaksin Campak / Measles

Bayi Demam Kejang - Source www.sundaytimes.lk
Salah satu kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) setelah bayi kita diberikan imunisasi vaksin yang mengandung komponen vaksin measles yaitu terjadinya demam dan kejang, meskipun kejadian ini tidak banyak dan tidak selalu terjadi.
Selama ini kita tidak tahu apa sebabnya atau apakah ada hubungan sebab akibat antara KIPI demam kejang dengan vaksin yang mengandung komponen vaksin campak atau measles ini, namun sudah banyak ilmuwan yang manarik kesimpulan bahwa kejadian ini memang mempunyai huubungan sebab akibat yang positif.

Dalam penelitian yang lebih baru, mengungkapkan fakta bahwa bayi berusia 12 - 15 bulan, sesuai anjuran dan rekomendasi jadwal dari US CDC, yang menerima dosis pertama vaksin yang mengandung komponen vaksin campak, akan mempunyai resiko lebih kecil untuk mengalami demam kejang (febrile seizure) pasca vaksinasi jika dibandingkan dengan kelompok bayi yang baru mendapatkan vaksinasi yang mengandung komponen vaksin campak ini telah berusia 16 - 23 bulan. 

Dalam penelitian sebelumnya disimpulkan bahwa vaksin yang mengandung komponen vaksin campak akan berkaitan dengan terjadinya kejang yang disebabkan oleh demam yang timbul akibat vaksinasi, ini yang disebut demam kejang atau febrile seizure, ini seringkali terjadi 1 atau 2 minggu setelah vaksinasi.

Sebabnya tidak diketahui, hanya saja ilmuwan menduga setelah vaksinasi, maka terjadi replikasi (memperbanyak diri) virus campak didalam tubuh bayi pada minggu pertama atau minggu kedua setelah vaksinasi, dan hal ini akan menyebabkan timbulnya demam pada beberapa orang bayi.
Sebelumnya, kita juga tidak tahu apakah faktor usia bayi saat mendapatkan vaksinasi yang mengandung komponen vaksin campak akan menimbulkan demam dan kejang    

Jenis vaksin apa saja yang mengandung komponen vaksin campak atau measles ?
Nama dan jenis vaksin ini bisa kita baca di http://selukbelukvaksin.com/kelompok-vaksin-measles-mumps-rubella-vaksin-rubella/

Beberapa orang tua menunda pemberian vaksinasi berdasarkan pemikiran yang sebetulnya tidak benar bahwa "terlalu banyak vaksin" yang telah atau akan diberikan kepada bayi, sehingga membuat sistim pertahanan tubuh bayi menjadi kewalahan mengatasi semua beban imunisasi ini, kata Dr. Paul Offit, Kepala Divisi Penyakit Infeksi di Rumah Sakit Anak Philadelphia.  

Pemikiran orang tua ini tidak benar, Menurut Dr. Paul Offit, sistim pertahanan tubuh bayi sanggup menangani tantangan kesehatan tersebut (misalnya bayi akan mendapat paparan dari kuman dan virus yang beredar didalam lingkungan hidup kita) sejak menit pertama bayi dilahirkan. Anak yang tidak menerima perlindungan dengan imunisasi tepat waktunya akan meningkatkan bahaya dan resiko terkena infeksi dan menderita penyakit yang bisa dicegah dengan vaksinasi yang biasanya terjadi pada saat mereka belum diberikan imunisasi.

Penelitian baru ini menganalisa informasi dari 840,348 orang bayi berusia 12 - 23 bulan, yang telah menerima vaksinasi yang mengandung komponen vaksin campak (misalnya MR, MMR atau MMRV) .
Maka bayi yang berusia 16 - 23 bulan adalah 6.5 kali lebih besar kemunginan mengalami demam kejang, yang tejadi dalam waktu 7 hingga 10 hari pasca vaksinasi. Atau bisa dikatakan bahwa akan terjadi 9.5 kasus demam kejang per 10,000 bayi yang divaksinasi dalam jangka waktu 7 hingga 10 hari pasca vaksinasi tersebut.

Sedangkan bayi yang menerima vaksin yang sama adalah lebih kecil kemungkinan terjadinya demam kejang dalam jangka waktu 7 - 10 hari pasca vaksinasi karena tindakan vaksinasi dilakukan sesuai dengan jadwal waktu yang direkomendasikan sesuai umur bayi tersebut, yaitu antara 12 - 15 bulan, bila dibandingkan dengan bayi berusia lebih tua yang terlambat mendapatkan dosis pertama vaksin campak, seperti yang diungkapkan dalam penelitian retrospektif ini.  

Sebagai pembanding saja, untuk bayi berusia 12 - 15 bulan mendapatkan dosis pertama vaksin campak, maka resiko terjadinya demam kejang adalah 3.4 kali kemungkinan terjadinya dalam waktu observasi 7 hingga 10 hari pasca vaksinasi. Atau sekitar 4 kasus demam kejang per 10,000 bayi yang divaksinasi.

Para peneliti dalam penelitian ini juga tidak yakin mengapa resiko demam kejang setelah vaksin campak adalah lebih besar pada bayi yang lebih tua daripada usia rekomendasi vaksinasi, Mungkin saja, bayi berusia 16 - 23 bulan ini mempunyai reaksi imunologi yang lebih hebat terhadap antigen vaksin campak dan mengakibatkan terjadinya demam kejang pada bayi kelompok usia tersebut.

Pertanyaannya sekarang adalah, apakah berbahaya bila terjadi demam kejang pada bayi pasca imunisasi vaksin yang mengandng komponen vaksin campak ?
Para penelitian menekankan bahwa resiko anak mengalami demam kejang yang sampai harus mendapatkan perawatan medis, yang terjadi pada beberapa minggu pasca imunisasi vaksin campak adalah sangat kecil, yaitu kurang dari 1 kasus per 1,000 dosis vaksin. Sedangkan resiko terjadi demam kejang karena infeksi campak alamiah (natural infection) adalah 7 kali lebih besar daripada yang pasca imunisasi.  


Kesimpulan : 

  • Rupanya faktor usia bayi  waktu imunisasi memegang peranan terjadinya demam kejang dalam waktu antara 7 - 10 hari pasca vaksinasi campak

  • Kebiasaan menunda usia vaksinasi MR, MMR atau MMRV bayi akan meningkatkan resiko terjadinya demam kejang pasca imunisasi 




Mengulur waktu imunisasi MMR akan meningkatkan resiko demam kejang bagi bayi Anda !

Source : http://www.medscape.com/viewarticle/812550

 

Vaccine Saves Lives !


Wednesday, October 9, 2013

Berita Vaksin - Hubungan Anak Autisme dan Gangguan Pola Tidur

Berita Vaksin - Hubungan Anak Autisme dan Gangguan Pola Tidur


Ternyata banyak sekali hal tak terduga yang bisa kita dapatkan dalam perkembangan bayi atau anak yang menderita ASD (Autism Spectrum Disorder) selama proses perkembangan dan pertumbuhan mereka menuju masa remaja.
Dan temuan ini banyak sekali membantu para ilmuwan dan Orang Tua untuk mengantisipasi kelaianan ini, bahka mungkin dengan intervensi kedokteran yang tepat pada usia dini, bisa membantu mengurangi dan meringankan gejalah ASD pada bayi dan anak anak tersebut.

Berikut ini adalah hasil penelitian tentang gangguan pola tidur (durasi tidur dan frekuensi terbangun sewaktu tidur malam) pada bayi dan anak yang mempunyai kecenderungan atau tendensi menderita gangguan ASD (Autism Spectrum Disorder).

Gejalah gangguan pola tidur seringkali terjadi pada anak anak hingga remaja yang menderita autisme, demikian diungkapkan baru baru ini dalam suatu penelitian.

Suatu penelitian kohort anak anak berskala besar dilakukan di Inggris memperlihatkan bahwa anak anak dengan Autism Spectrum Disorder (ASD), durasi tidur mereka berkurang sekitar 17 hingga 43 menit lama tidurnya setiap malam (sejak mereka berusia 30 bulan dan berlanjut hingga berusia 11 tahun), jika  dibandingkan dengan teman teman mereka yang tidak menderita ASD.
Mereka ini juga lebih banyak mengalami terbangun sewaktu tidur, minimal 2 kali terbangun sepanjang malam.     
"ini adalah penelitian longitudinal pertama yang menyangkut berkurangnya durasi tidur dan jumlah frekuensi terbangun sewaktu tidur malam pada anak anak, dengan mengumpulkan data prospektif untuk membuat diagnosa ASD, bahkan gangguan pola tidur (durasi tidur dan frekuensi terbangun sewaktu tidur malam) seringkali dilaporkan oleh para Orang Tua jauh sebelum bayi atau anak mereka didiagnosa sebagai penderita gangguan ASD" demikian tulis Dr.Joanna S. Humphreys, MBChB dan kawan kawan, dari Rumah Sakit Anak di Toronto, Canada.    

Jadi dengan kata lain, kita telah bisa mendeteksi dan "meramalkan" bahwa bayi atau anak tersebut akan menderita gangguan ASD dimasa pertumbuhannya nanti dengan melihat adanya gangguan pola tidur (durasi atau lama tidur setiap malam dan jumlah frekuensi terbangun sewaktu tidur malam). Sehingga diharapkan dengan memperbaiki dan menghilangkan gangguan pola tidur bayi dan anak ini, maka akan bisa mengurangi jumlah bayi dan anak penderita ASD dimasa depan atau meringankan gejalah ASD pada bayi dan anak tersebut.  

"Gangguan pola tidur ini adalah penting sebagai tanda bagi kelompok anak ini yang mungkin ...akan berkaitan dengan bertambahnya gejalah autisme, dan mempunyai potensi untuk bisa diobati dengan program koreksi tingkah laku dan atau dengan intervensi pengobatan farmakologis dengan obat-obatan seperti misalnya obat melatonin" tambaha salah satu staff penelitian tersebut.


Pentingnya Penilaian Gangguan Pola Tidur Sedini Mungkin
  
Anak dengan ASD juga mengalami lebih banyak frekuensi terbangun sewaktu tidur malam, oleh para ahli dikelompokkan sebagai "terbangun lebih dua kali semalam" sejak mereka berusia 30 bulan dan seterusnya.

Pada saat berusia 30 bulan, maka sekitar 12.5% dari kelompok bayi ASD akan terbangun lebih dari dua kali diwaktu tidur malam, dibandingkan dengan hanya 5% bayi yang normal.
Bahkan perbedaan ini semakin menyolok pada saat mereka telah mencapai usia 81 bulan (sekitar usia 7 tahun), yaitu sebanyak 10.9% bayi ASD berbanding dengan 0.5% bayi normal. 

Secara keseluruhan, penelitian ini menekankan pentingnya menilai pola gangguan tidur sedini mungkin pada bayi dengan gangguan ASD, untuk memberikan dukungan dan garis panduan kepada Orang Tua, untuk mengantisipasi terjadinya gangguan ASD pada bayi dan anak mereka, dan mempertimbangkan pemakaian melatonin untuk mengatasi gangguan pola tidur ini. Demikian penjelasan para dokter ahli penelitian ini.

Para ahli ini juga menambahkan bahwa adanya hubungan erat yang nyata antara berkurangnya durasi waktu tidur dengan berkurangnya pembentukan sel neuron saraf diotak.
"sehingga jika teori ini terbukti benar adanya, maka kelompok bayi dengan ASD akan memperoleh manfaat perbaikan dengan menambah jumlah waktu durasi tidur mereka" tulis mereka dalam hasil penelitian diatas.   

Banyak bukti nyata yang mendukung bahwa dengan pola tidur yang baik, akan membantu tubuh melakukan regenerasi penggantian dan rejuvenalisasi (peremajaan) sel sel tubuh yang telah rusak dan membentuk sel tubuh yang baru, sehingga tidur ini sangat penting sekali, terutama tidur yang nyenyak dan cukup lama, yaitu durasi waktu yang cukup dengan kualitas tidur yang baik  
  
Catatan :
Hasil penelitian ini telah diterbitkan secara online oleh the Archives of Disease in Childhood. Septeber 30, 2013
 




Vaccine Saves Lives !


Tuesday, September 10, 2013

Berita Vaksin - Kejadian Luar Biasa Penyakit Campak Karena Cakupan Vaksinasi Rendah



Kejadian Luar Biasa Penyakit Campak Karena Cakupan Vaksinasi Rendah

Sejak ditemukannya vaksin dan pemakaian vaksin yang meluas dimasyarakat, maka jumlah penyakit menular yang dapat dicegah dengan pemberian vaksinasi telah berhasil dikurangi secara nyata dan bahkan dihilangkan dari peredaran dimuka bumi ini, seperti misalnya penyakit cacar, dan tidak lama lagi juga penyakit polio. 

Penyakit menular yang ber hasil dikurangi angka penularan dan angka kesakitannya dengan pemberian vaksinasi, misalnya penyakit campak, batuk rejan, tetanus, penyakit difteri, juga penyakit gondongan dan penyakit menular lainnya. 


Untuk bisa mencapai keadaan demikian, maka diperlukan beberapa usaha kesehatan yang terus menerus dan konsisten, yaitu :
  • Mempertahankan tingkat cakupan vaksinasi yang tinggi, minimal adalah sebesar > 75% - 85% didalam sekelompok masyarakat tertentu, sehingga akan memberikan perlindungan kelompok atau Herd Immunity bagi anggota kelompok lain yang tidak / belum sempat diberikan imunisasi

  • Memberikan vaksinasi ulangan atau booster pada orang dewasa dan orang tua yang pernah mendapatkan beberapa jenis vaksin dan imunisasi pada masa kecil dan waktu remaja, misalnya vaksin DTP (difteri, tetanus dan pertusis), karena dengan berlalunya waktu, maka jumlah antibody dalam tubuh orang dewasa dan orang tua ini akan berkurang sampai hilang, sehingga mereka menjadi rentan terhadap penyakit menular tersebut dan menjadi sakit bila tertular. Atau mereka akan menjadi pembawa kuman penyakit untuk ditularkan kepada bayi atau cucunya yang ada di-lingkungan hidup mereka  (http://selukbelukvaksin.com/vaksin-dtp-vaksinasi-pertusis-bagi-orang-dewasa/)


Kenyataannya yang sering terjadi adalah cakupan imunisasi yang rendah sehingga sering kita mendengar terjadinya KLB atau Kejadian Luar Biasa merebaknya suatu penyakit infeksi yang sebetulnya dapat dicegah dengan vaksin.

Yang masih segar dalam ingatan kita yaitu KLB penyakit polio tahun 2005 disuatu desa kecil di kabupaten Sukabumi, kemudian tahun 2012 terjadinya KLB penyakit difteri di Jawa Timur dan Madura.

Yang kita dengar akhir akhir ini adalah kejadian luar biasa penyakit campak yang sedang melanda negara Eropah dan Amerika, semua itu adalah bersumber karena cakupan imunisasi yang rendah, sehingga tidak memberikan efek perlindungan kelompok (Herd Immunity) kepada anggota kelompok tersebut.



Berikut ini adalah laporan  tentang merebaknya penyakit campak di Inggris dan Amerika :

Sudah lebih dari 18  bulan lamanya penyakit campak membangkitkan kenangan dunia Barat bahwa penyakit ini ditakuti dulu kala. Di zaman modern ini di Inggris, pada komunitas orang yang tidak melakukan vaksinasi, telah memungkinkan virus campak berkembang baik dengan subur, dan sekarang hal yang sama sedang terjadi di suatu kelompok keagamaan di Texas, Amerika.

Penyakit campak sedang merebak disuatu kelompok keagamaan di Texas, dimana 15 orang dari 25 orang jemaahnya telah tertular dan sakit campak.
Pihak Kesehatan yakin salah seorang jemaahnya mendapat infeksi virus ini sewaktu berkunjung diluar negeri. Virus ini menginfeksi 9 orang anak dan 6 orang dewasa anggota jemaat. Hampir semua korbannya tidak mempunyai catatan vaksinasi campak yang lengkap, atau bahkan tidak pernah diberikan vaksinasi campak sebelumnya.

Tampaknya karena cakupan vaksinasi campak yang rendah didalam kelompok inilah yang memungkinan hal ini terjadi. "Ini adalah contoh klasik bagaimana penyakit campak bisa kembali merebak dalam suatu kelompok anggota masyarakat", komentar William Schaffner, seorang ahli penyakit infeksi dari Vanderbilt University School of Medicine.

Karena pihak Kesehatan telah cukup lama memperingatkan kelompok keagamaan ini berhubung cakupan vaksiansi yang rendah diantara anggota jemaahnya yang cenderung menolak vaksinasi bagi dirinya juga anak anak mereka hanya karena masalah keyakinan saja.

Hal yang sama juga dialami oleh kelompok Yahudi Orthodox di New York, karena menolak vaksinasi campak dan terjadi 58 kasus penyakit campak pada tahun ini diantara anggota mereka.

Salah satu alasan kelompok keagamaan ini menolak pemberian vaksinasi antara lain karena mereka percaya terhadap penyembuhan penyakit cukup dengan keyakinan saja dan juga kuatir adanya hubungan vaksinasi atau pemberian sejumlah besar vaksin sekaligus pada bayi dengan kejadian autisme.  

Padahal telah banyak penelitian ilmiah yang membuktikan tidak adanya hubungan sebab akibat antara vaksinasi dengan kejadian autisme bayi, demikian juga tidak adanya korelasi positif antara teori bahwa pemberian vaksinasi terlalu banyak (too many vaccines theory) akan menimbulkan kejadian autisme bayi. 

Source : 
fiercevaccines.com, Nick Paul Taylor,  August 27th, 2013
 
 Kesimpulan
  • Tidak semua jenis vaksin akan memberikan kekebalan penyakit yang seumur hidup, umumnya adalah sekitar belasan atau maksimal puluhan tahun saja, seperti vaksin influenza, vaksin vaksin hepatitis A dan B, vaksin meningitis, vaksin pneumonia, vaksin DTP dan vaksin MMR  

  • Diperlukan vaksinasi tambahan atau vaksinasi booster untuk penyakit infeksi yang bisa dicegah dengan vaksin pada orang dewasa dan orang tua, misalnya vaksin DTP untuk kaum dewasa dan orang tua dalam bentuk vaksin Tdap, untuk mencegah penularan penyakit pertusis pada cucu yang tinggal serumah dengannya, vaksin pneumonia, vaksin influenza. ( http://selukbelukvaksin.com/vaksin-dtp-vaksinasi-pertusis-bagi-orang-dewasa/)

  • Pada masyarakat yang cakupan vaksinasinya telah mencapai 75% - 85% akan memberikan efek perlindungan kelompok atau Herd Immunity kepada anggotanya yang tidak atau belum sempat diberikan vaksinasi, sehingga mereka bisa terlindung dari bahaya penularan bibit penyakit dan menjadi sakit. 
 
  • Autisme tidak disebabkan oleh vaksin dan vaksinasi, juga tidak karena pemberian beberapa jenis vaksin bersamaan sekaligus. Ada kecurigaan bahwa faktor genetik, status kesehatan ibu sewaktu hamil, keadaan kesehatan janin selama didalam kandungan, bayi yang lahir prematur, dan lain hal yang perlu dicermati lebih lanjut

  • Ketahuilah bila kita atau anggota keluarga kita menolak vaksinasi, hal ini bukan hanya membahayakan kesehatan diri kita sendiri saja, tetapi juga membahayakan orang dan masyarakat lingkungan sekitar kita, karena tidak adanya perlindungan kelompok atau herd immunity untuk orang sekitar. Sebagai warga yang bertanggung jawab, maka sebaiknya kita dan anggota keluarga mendapatkan vaksinasi sesuai program dan anjuran pihak Kesehatan 

Vaccine Saves Lifes !

Thursday, August 29, 2013

Berita Vaksin - Induksi Persalinan Meningkatkan Resiko Autisme Bayi

Berita Vaksin - Induksi Persalinan Meningkatkan Resiko Autisme Bayi

Induksi Persalinan, suatu tindakan dibidang kedokteran Kandungan dan Kebidanan, yaitu perbuatan menginisasi untuk mempercepat proses persalinan bayi dari pada proses persalinan alamiah. 
Induksi persalinan bayi. Source Google free image


Tujuan induksi persalinan juga bermacam-mcam, ada yang disebut
  • Indikasi medis, yaitu misalnya ada kedaruratan bayi atau ibu, sehingga kita mempercepat berakhirnya masa kehamilan dengan menginduksi persalinan dari waktu yang seharusnya terjadi. Indikasi medik yang dimaksud misalnya terjadi gawat janin didalam kandungan karena lilitan tali pusat, terjadinya simpul mati ditali pusat janin, ada kelainan letak ketuban atau plasenta didinding rahim, atau penyakit pada ibu hamil seperti hipertensi eklampsia, penyakit jantung, dan lain lain 

  • Indikasi sosial, yaitu induksi persalinan yang diminta oleh keluarga, misalnya untuk menentukan tanggal kelahiran bayi pada tanggal tertentu, keperluan keluarga misalnya berlibur, status kewargaan negara bayi yang dilahirkan, dan lain lain 

Sehingga dengan cara induksi persalinan kita bisa menentukan kapan dan dimana bayi kita ingin dilahirkan. 

Induksi persalinan bisa dilakukan dengan cara memberikan hormon persalinan yang dapat memulai kontraksi otot kandungan dan hormon ini juga dapat meningkatkan kualitas kontraksi otot rahim dengan meningkatkan frekuensi dan kekuatan kontraksi, sehingga setiap kontraksi mempunyai efek dan nilai efisiensi untuk mempercepat dan mengakhiri proses persalinan bayi.

Hormon persalinan yang dimaksud adalah hormon Oksitosin.
Hormon oksitosin ini akan meningkat secara alamiah bila proses persalinan normal telah mencapai masanya. Tetapi bila diberikan hormon oksitosin dari luar, maka akan menimbulkan kontraksi otot rahim dan memulai proses persalinan yang dipercepat sebelum waktunya. 


Lalu apa hubungannya dengan terjadinya Autisme bayi dengan proses induksi persalinan ? 

Adalah menurut penelitian terbaru, bahwa induksi persalinan atau mempercepat proses persalinan ada kemungkinan berkaitan dengan meningkatnya resiko kejadian  autism spectrum disorder (ASD) pada bayi. Namun para peneliti juga mengatakan bahwa lebih banyak penelitian ilmiah masih diperlukan untuk bisa menarik kesimpulan hubungan sebab akibatnya.  

Suatu penelitian retrospektif yang melibatkan 625.000 bayi lahir hidup dengan proses induksi persalinan atau persalinan yang dipercepat, mempunyai kemungkinan hingga 23% untuk menderita ASD dibandingkan dengan bayi yang lahir tanpa proses induksi persalinan atau persalinan yang dipercepat dengan pemberian hormon oksitosin
Hubungan induksi partus dan terjadinya kelainan autisme ini lebih jelas dan nyata pada bayi lelaki  daripada bayi perempuan.

"Harapan kami  temuan ini bisa memberikan sumbangsih dalam diskusi tentang pengaruh faktor lingkungan terhadap terjadinya autisme atau terjadinya ASD" kutip  peneliti utama Simon G. Gregory, PhD, associate professor di the Duke Institute of Molecular Physiology, Duke University Medical Center di Durham, North Carolina, kepada Medscape Medical News.

"Ini adalah kelainan yang sangat rumit yang mungkin merupakan gabungan antara kelainan genetik dengan pengaruh lingkungan. Dan mungkin saja yang kita lihat adalah faktor lingkungan yang meningkatkan resiko terjadinya autisme, terhadap ataupun tidak pada faktor pre-disposisi genetik" kata Dr. Gregory "Sehingga sangat penting untuk memilah penyebab sebenarnya dari kelainan ini"

Menurut catatan maka penelitian ini adalah penelitian berskala besar yang pernah dilakukan selama ini untuk meneliti hubungan sebab akibat antara induksi persalinan dengan terjadinya autisme bayi.  
Dan para peneliti juga menyadari bahhwa penelitian lebih lanjut sangat diperlukan untuk memilah semua kemungkinan sebab akibat autisme bayi, termasuk kondisi ibu selama kehamilan berlangsung, juga tindakan induksi dan tindakan percepat proses persalinan, dan pola pemakaian obat juga dosis pemberian obat-obatan yang dipergunakan. 
Hasil penlitian ini telah dipublikasikan secara online di JAMA Pediatrics, bulan Agustus 2013   


Faktor Resiko Lingkungan 

Menurut para peneliti, kurang lebih 1 dari 88 anak yang dilahirkan di Amerka mempunyai kelainan ASD.
Penelitian sebelumnya telah memeriksa baik faktor lingkungan juga faktor genetik yang mungkin berpengaruh terhadap terjadinya ASD - sehingga membuat para peneliti saat ini menilai kemungkinan hubungan antara induksi persalinan / tindakan percepatan proses persalinan pada waktu proses kelahiran bayi.

Mereka telah mengevaluasi data dari 625,042 bayi lahir hidup dari tahun 1990 hingga 1998 dan dikaitkan dnegan hasil rapor atau laporan prestasi sekolah  dari tahun 1997 - 1998 dan tahun 2007 - 2008 dari data base the North Carolina Detailed Birth Record dan Education Research.

Dari semua anak ini, 5500 mempunyai catatan tentang autisme (1.3% anak lelaki dan 0.4% anak perempuan).

"Kami menganalisa faktor resiko tradisionil terhadap proses persalinan yang telah diketahui dan yang mempunyai efek implikasi terhadap terjadinya autisme pada kelompok bayi  ini" kata Dr. Gregory. 
"Kemudian kita mencoba mengendalikan faktor faktor ini dan mencoba lihat apakah induksi persalinan atau tindakan mempercepat proses persalinan masih mempunyai hubungan yang signifikan terhadap kejadian autisme bayi" tambahnya. 

Setelah mengendalikan faktor berpengaruh pada bayi lelaki saja, maka hasilnya memperlihatkan bahwa, bagi bayi yang dilahirkan dengan induksi dan  tindakan mempercepat proses persalinan, akan mempunyai kemungkinan lebih besar untuk di diagnosa sebagai  penderita autisme dibandingkan dengan bayi yang dilahirkan dengan proses persalinan yang normal, tidak dengan induksi atau mempercepat proses persalinan. (odds ratio [OR], 1.23; 95% confidence interval [CI], 1.02 - 1.47).
 


Apakah Penyebab Sesungguhnya ? 

"Salah satu penjelasan yang mungkin tentang hubungan induksi persalinan - ASD adalah karena pemaparan janin dengan hormon oksitosin yang diberikan dari luar tubuh, sewaktu dilakukan induksi persalinan atau mempercepat proses kelahiran bayi" penjelasan dari para peneliti, dimana 50% - 70% wanita yang menjalankan proses induksi persalinan akan mendapat pengobatan hormon oksitosin ini untuk merangsang terjadinya kontraksi otot rahim untuk memulai proses persalinan bayi.
Dan dari penelitian sebelumnya yang ternyata hormon oksitosin menjadi penyebab dari terjadinya ASD.   

Analisa lebih lanjut memperlihatkan odds ratio 1.25 untuk menjadi autisme pada saat terjadi kegawat daruratan bayi sewaktu proses persalinan dan melahirkan.
Odds ratio 1.22 menjadi autisme bila bayi mengeluarkan mekonium (kotoran pertama seorang bayi yang dikeluarkan sewaktu masih ada didalam kandungan, sebetulnya tidakboleh terjadi demikian, bila ini terjadi pertanda sedang terjadi gangguan atau keadaan gawat darurat pada bayi tersebut)
Odds ratio 1.25 menjadi autisme bila bayi dillahirkan pada masa hamil < 34 minggu (bayi premature), bila semua ini dibandingkan dengan bayi yang dilahirkan tanpa terjadi kondisi seperti yang disebutkan diatas.    

Terlebih lagi bila ibu dengan penyakit diabetes akan mempunyai kemunginan hingga 23% melahirkan bayi dengan autisme dibandingkan dengan ibu yang sehat.  

Ketika memilah hasil penelitian berdasarkan jenis kelamin bayi, para peneliti juga menemukan bahwa ibu yang mendapatkan induksi persalinan dan juga sekalian usaha untuk mempercepat proses persalinan, akan mempunyai kemungkinan hingga 35% melahirkan bayi dengan autisme. Dan ibu yang hanya mendapat proses percepatan persalinan hanya mempunyai kemungkinan 18% melahirkan bayi dengan autisme dibandingkan dengan ibu yang tidak mendapatkan perlakuan demikian.   

Sebaliknya, tidak ada peningkatan resiko pada bayi perempuan yang dilahirkan dengan induksi dan dengan proses percepatan kelahiran. Semua ini hanya terjadi pada kelompok bayi lelaki saja.kata Dr. Gregory.

Namun dia menambahkan bahwa pada kelompok ibu yang mendapatkan hanya perlakuan mempercepat proses persalinan saja, maka 18% bayi perempuan dan 15% bayi lelaki yang dilahirkan akan mempunyai resiko menjadi autisme.   

Menurut para peneliti bahwa hasil  temuan mereka itu masih terlalu awal untuk mengatakan bahwa tindakan induksi persalinan atau proses mempercepat persalinan akan meningkatkan resiko bayi  yang dilahirkan menderita kelainan autisme.


Kesimpulan

Terjadi tidaknya autisme pada bayi yang dilahirkan juga sangat tergantung pada keadaan kesehatan umum ibu hamil dan juga kesehatan janin selama didalam kandungan.

Para peneliti tidak mengharapkan bahwa hasil temuan ini akan membuat para ibu menjadi was-was dan menolak tindakan induksi persalinan atau tindakan mempercepat proses persalinan yang dinilai perlu oleh para dokter ahli kebidanan demi keselamatan ibu hamil dan bayinya.

Source: Google free image



Detail hasil penelitian ini telah dipublikasikan secara online di majalah:
   JAMA Pediatr. Published online August 12, 2013


Happy Healthy Living !


 
       


Monday, August 5, 2013

Berita Vaksin - Mencegah Kanker Mulut Dengan Vaksin Kanker Rahim

Baru saja dengan heboh vaksin kanker leher rahim (kanker serviks) atau yang lebih populer dikenal sebagai vaksin human papilloma virus / vaksin HPV, yang rekomendasi pemakaiannya untuk gadis remaja telah ditunda oleh Departement Kesehatan Jepang belum lama berselang.

Infeksi Virus HPV.  Source: Google Free Image 
Alasan penundaannya adalah karena ditemukannya beberapa kasus kejadian efek simpang KIPI yang diduga berkaitan dengan pemakaian vaksin HPV ini. Sebaliknya di Amerika Serikat, maka pemakaian vaksin HPV ini sedang direkomendasi oleh pejabat kesehatan, karena efektifitas vaksin tersebut dalam menekan angka infeksi dengan virus HPV dan berhasil mengurangi kejadian kutil (genital wart) didaerah anogenital secara statistik sangat bermakna.

Terlepas dari kontroversial kedua keputusan yang diambil oleh pejabat kesehatan negara masing masing, maka juga ditemukan satu fakta yang pasti bahwa, virus HPV ini bukan hanya bisa menyebabkan terjadinya kutil daerah anogenital (genital wart), tetapi juga bisa menyebabkan keganasan atau kanker daerah serviks atau leher rahim, kanker daerah vagina, kanker penis bahkan kanker mulut dan kanker tenggorokan. (http://selukbelukvaksin.com/vaksin-human-papilloma-virus/)

Dari penelitian klinik awal hingga yang terakhir, semua membuktikan bahwa vaksin HPV ini efektif untuk mencegah infeksi oleh virus HPV sehingga bisa mencegah terjadinya keganasan pada organ tubuh yang kita sebutkan diatas.

Dalam literature ilmiah, telah dibuktikan jenis serotype virus HPV yang bisa menyebabkan kanker adalah jenis serotype 16 dan 18, yang sudah dicakup dalam antigen vaksin HPV yang dipasarkan saat ini (bivalent atau quadrivalent HPV Vaccines), untuk mencegah kanker rahim juga diduga bisa mencegah kanker rongga mulut. (http://selukbelukvaksin.com/4-hal-penting-mengenai-vaksin-human-papilloma-virus/)

Dalam suatu penelitian vaksin HPV di Kosta Rika, pada 17 July dan dipublikasikan secara on line di PLOS ONE , maka vaksin ini berhasil mengurangi hingga 90% infeksi HPV pada rongga mulut wanita.

"Cara analisanya cukup unik karena ini adalah yang pertama yang memperlihatkan efikasi vaksin ini untuk mencegah infeksi virus HPV serotype 16 dan 18 didalam rongga mulut" kata peneliti utama Rolando Herrero, MD, PhD, kepala dari the prevention and implementation group, International Agency for Research on Cancer (IARC), World Health Organization, Lyon, France, demikian yang dikutip oleh Medscape Medical News.

"Virus HPV ini berhubungan dengan faktor pertumbuhan yang penting dari kanker jenis orofarings (mulut dan tenggorokan) dan kelenjar liur tonsil. Dalam hal klinik, potensi perlindungan terhadap infeksi virus ini menjadi alasan utama kita diberikan vaksinasi ini, terutama sebelum terpapar dengan virus HPV ini" Dr. Herrero menjelaskan.   

Dalam penelitian klinik ini, yang merupakan usaha kerjasama antara IARC, para penliti dari Kosta Rika, dan the US National Cancer Institute, dirancang untuk mengevaluasi efikasi vaksin terhadap kanker serviks. Dan kemudian, penelitian ini juga menilai efikasi vaksin ini terhadap keganasan yang terjadi dilokasi anatomi tubuh yang lain, termasuk didalam rongga mulut.


"Bukti Awal Yang Menjanjikan"

Pada tahun 2004 dan 2005, sejumlah 7466 wanita sehat yang berusia antara 18 hingga 25 tahun telah di-ikutserta-kan dalam dalam uji klinik ini. Wanita ini dikelompokkan secara acak untuk mendapatkan vaksin HPV atau vaksin hepatitis A (sebagai kelompok kontrol). Setelah selang waktu 4 tahun pasca vaksinasi, spesimen jaringan mulut dari 5840 wanita dipergunakan untuk mengevaluasi efikkasi vaksin untuk mencegah infeksi virus HPV pada rongga mulut.   
Vaksin HPV ternyata efektif melawan infeksi virus HPV pada sejumlah 93.3% dari wanita.
Hanya ada 1 kasus infeksi virus HPV pada kelompok penerima vaksinasi HPV dan 15 kasus pada kelompok kontrol.

Menurut para ilmuwan, penelitan ini memberikan indikasi bahwa vaksin ini "memperlihatkan daya proteksi yang kuat terhadap infeksi virus HPV dirongga mulut, sehingga mempunyai potensi kuat untuk mencegah kecenderungan meningkatnnya kanker rongga mulut dan tenggorokan yang disebabkan oleh infeksi virus HPV ini"

Memang masih diperlukan banyak penelitian lanjutan untuk bisa membuktikan korelasi infeksi virus HPV dan keganasan rongga mulut dan tenggorok dengan efektifitas vaksin HPV untuk mencagah hal demikian.

Penelitian ini memberikan hasil yang menjanjikan, bahwa vaksin HPV bisa mencegah kanker mulut dan tenggorokan oleh infeksi virus HPV, demikian ungkap Dr. Gillison kepada Medscape Medical News. "Infeksi rongga mulut ooleh virus HPV serotype 16 dan 18 menjadi jarang sejak 4 tahun setelah wanita yang mendapatkan vaksinasi HPV, bila dibandingkan dengan wanta yang tidak diberikan vaksinasi HPV.

Pertanyaan Selanjutnya
Dr. Gillison mengharapkan bahwa penelitian sederhana ini akan memicu pihak pembuat vaksin HPV dan badan kesehatan pemerintah untuk merancang sutau uji klinik yang lebih ilmiah dan lengkap untuk mengungkapkan fakta yang berhubungan antara vaksin HPV dan pencegahan kanker mulut dan tenggorokan.

Dr. Herrero juga sependapat untuk menambah jumlah penelitian klinik untuk mendukung hasil penelitian yang tellah ada. "Kita memerlukan penelitian untuk mengetahui lama proteksi vaksin HPV ini" katanya kepada Medscape Medical News, dan apakah pria juga terlindung oleh vaksin HPV terhadap hal yang sama. "Jika hasil yang sama juga ditemukan pada pria, maka vaksinasi untuk anak lelaki menjadi hal yang penting dalam program kesehatan masyarakat, karena kanker mulut dan tenggorokan, dan keganasan di area lain yang berhubungan dengan infeksi virus HPV adalah relatif lebih sering pada kaum pria" demikian ungkapan Dr. Herrero.

Data klinik dari penelitian vaksin HPV di Kosta Rika juga memperlihatkan bahwa vaksin HPV ini juga dapat mencegah infeksi daerah anus oleh virus HPV pada wanita, demikian yang dilaporkan oleh Medscape Medical News

Vaksinasi HPV.  Source: Google Free Image


Vaccine Saves Lives !

 PLOS ONE. Published online July 17, 2013

Source : http://leokurniawan.blogspot.com 

Thursday, July 18, 2013

Berita Vaksin - GBS Tidak Ada Kaitan Dengan Vaksin

Guillain-Barré syndrome.... Source: Google free image
Sudah cukup lama terdapat anggapan bahwa kejadian Guillain-Barré syndrome (GBS) adalah sebagai akibat pemberian vaksinasi, katanya terutama berhubungan dengan pemberian vaksin influenza pada tahun 2010 - 2011,  sewaktu terjadi pandemik influenza babi (H1N1).
Pada saat itu terjadi peningkatan kasus  Guillain-Barré syndrome (GBS) setelah vaksinasi H1N1 swine flu dan menurut penelitian, dianggap ada kaitan langsung sebab akibat dengan pemberian vaksin ini.
Juga selama ini, ada anggapan bahwa semua jenis vaksin ada kemungkinan menimbulkan Guillain-Barré syndrome (GBS)

Tetapi juga banyak penelitian yang dilakukan untuk membuktikan hal sebaliknya, yaitu bahwa GBS atau Guillain-Barré syndrome, tidak berhubungan sebab akibat dengan pemberian vaksinasi, apapun jenis vaksinnya, termasuk vaksin influenza jenis pandemik ini.

Dalam sebuah penelitian retrospektif yang berlangsung selama 13 tahun, yang mencakup 30 juta orang -tahun (person-year), para peneliti tidak berhasil menemukan bukti tantang peningkatan resiko terjadinya  Guillain-Barré syndrome (GBS) setelah vaksinasi ; vaksniasi jenis apapun, termasuk vakksinasi influenza.

"Jika seandainya memang ada resiko terjadi Guillain-Barré syndrome setelah vaksinasi jenis apapun, maka itupun adalah sangat rendah" kata Dr. Roger Baxter, penulis dan wakil direktur the Kaiser Permanente Vaccine Study Center, Oakland, California, yang menyampaikan ini dalam wawancara Kaiser news.

Apa sebenarnya  GBS ini ?

Guillain-Barré syndrome. Source: Google free image

"GBS adalah reaksi inflamsi/radang akut pada sel saraf motorik, yang bila dalam kasus yang berat bisa berkembang menjadi kelumpuhan total dan bahkan kematian, demikian yang ditulis oleh Dr. Baxter dan koleganya dalam sebuah artikel yang dipublikasikan secara online di inetrnet pada 11 April dan 15 July di Clinical Infectious Diseases.

"Perkiraan jumlah kejadian GBS adalah antara 1 - 2 kasus per 100,000 orang-tahun (person-year) diseluruh dunia yang kasusnya meningkat dengan bertambahnya usia" kata penulisnya. Penyebab dari penyakit ini tidak diketahui tetapi diduga  akibat proses auto-imun yang ditimbulkan oleh reaksi antigen, dan sebagai hasilnya adalah terjadi proses kerusakan selubung myelin yang menyelubungi saraf dan timbul kerusakan saraf tepi dengan akibat terjadi gangguan hantaran impuls rangsangan saraf dan menyebabkan kelumpuhan yang mulai dari bagian bawah anggota gerak tubuh, kelumpuhan ini akan menjalar keatas, tambah penulis bersangkutan.    

Sekitar 2/3 kasus dimulai dengan infeksi saluran pencernaan atau saluran pernafasan oleh kuman  Campylobacter enteritis, sebagai pencetus utama terjadinya GBS. Juga influenza dan infeksi dengan cytomegalovirus, Epstein-Barr virus, HIV, dan Mycoplasma pneumonia berpengaruh terhadap terjadinya GBS ini.

Pernah dilaporkan hubungan kejadian GBS dengan beberapa jenis vaksin tertentu. Hubungan sebab akibat yang jelas terjadi pada tahun 1976 dengan vaksin influenza jenis A/New Jersey swine influenza vaccine (influenza babi), ketika terjadi peningkatan GBS yang cukup bermakna yang terjadi 6 minggu setelah vaksinasi.Dan semenjak saat itu, penelitian memperlihatkan tidak adanya resiko atau resiko yang sangat kecil untuk terjadinya GBS, yaitu sekitar 1 kasus per satu juta dosis vaksin.
Baru baru ini, penelitian tentang GBS setelah pemberian vaksin influenza monovalent H1N1 tahun 2009 di Amerika, hanya ditemukan adanya peningkatan minimal resiko terjadinya GBS, yaitu 1 hingga 5 kasus untuk satu juta dosis vaksin influenza.  

Tujuan penelitian diatas adalah untuk mengevaluasi lebih lanjut kemungkinan hubungan sebab - akibat antara  kejadian GBS dengan vaksinasi, dengan menggunakan data retrospektif dari the Kaiser Permanente of Northern California healthcare plan yang telah terkumpul sekian tahun lamanya.

Dr. Baxter dan koleganya telah mengidentifikasi 415 kasus GBS selama periode 13 tahun dari 1994 hingga 2006. Hampir semua kasus adalah pria (58.6%) dan usia rerata adalah 48.5 tahun (antara 5 - 87 tahun). Para peneliti juga menemukan bahwa 277 penderita (66.7%) mempunyai riwayat penyakit saluran pernafasan dan atau penyakit saluran pencernaan dalam 90 hari terakhir sebelum terjadinya penyakit GBS ini. 

Berbicara tentang cuaca, maka kejadian lebih sering terjadi pada bulan musim dingin (November - April) berbanding 1.5 kali daripada musim lain (P= .003), puncaknnya pada bulan Maret. 

Diantara 415 orang penderita GBS, hanya 25 orang yang menerima vaksinasi (semua jenis vaksin) 6 minggu sebelum terjadi GBS. Vaksin yang diterima oleh mereka terdiri dari jenis vaksin influenza (n= 18 orang), vaksin pneumonia 23 (n= 2 orang), DTP vaksin kombinasi (n= 3 orang), hepatitis A vaksin (n= 2 orang) dan hepatitis B (n= 1 orang)
Sisa 390 orang tidak mendapat vaksin jenis apapun 6 minggu sebelum kejadian GBS.

Peneliti juga menemukan bahwa tidak ada kasus GBS yang terjadi sebagai akibat vaksin yang pernah diberikan semasa kecil, terlepas dari jumlah vaksin banyak yang telah pernah diberikan selama ini. 
Seperti vaksin polio oral OPV sebanyak 1.2 juta dosis, vaksin MMR sebanyak 1.6 juta dosis, vaksin PCV (pneumonia conjugate vaccine) sebanyak 1.3 juta dosis, vaksin hidup influenza (live attenuated influenza vaccine) sebanyak 69,000 dosis, DTP- Hib (Hamofilus influenza type b) vaksin kombinasi sebanyak 525,000 dosis dan Hib (Hemofilus influenza type b) vaksin sebanyak 1.2 juta dosis.
Untuk vaksin rabies 13,000 dosis terdapat 1 kasus GBS yang terjadi 7.5 minggu pasca vaksinasi.

Meskipun telah ditelaah sekian tahun dan sejumlah besar kasus GBS ini, namun karena rancangan penelitian ini yang cukup terbatas, maka para peneliti masih tidak mungkin secara pasti meniadakan kemungkinan hubungan GBS dengan efek vaksinasi.
Hanya saja, dari banyak data penelitian yang lain, juga menunjukkan trend yang sama dengan penelitian diatas, yaitu tidak ditemukan hubungan signifikan antara vaksinasi dengan kejadian GBS. 

"Terjadinya sejumlah kecil GBS yang terkait dengan vaksinasi dan bila dikaitkan dengan hasil penelitian diatas, akan memberi kita keyakinan bahwa resiko terjadinya GBS setelah vaksinasi, termasuk dengan vaksin influenza, adalah sangat rendah" demikian kesimpulan Dr. Baxter dan koleganya.

Kesimpulan dari hasil penelitian diatas adalah bahwa kejadian GBS tidak mempunyai kaitan sebab akibat langsung dengan pemberian vaksinasi, termasuk vaksinasi untuk semua jenis vaksin yang kita kenal dan kita pergunakan saat ini. 


Komentar berkaitan dengan hasil penelitian "Lack of Association of Guillain-Barré Syndrome With Vaccinations" diatas:  
"Penelitian diatas yang memperlihatkan kurang atau tidak adanya hubungan antara vaksinasi dengan kejadian GBS adalah sangat penting karena dapat menghillangkan keraguan dan dapat membantu promosi program vaksinasi" kata Dr. Marian Michaels, dari Division of Pediatric Infectious Diseases at Children's Hospital of Pittsburgh, University of Pittsburgh Medical Center, sewaktu diwawancara oleh Medscape Medical News, tentang hasil penelitian diatas.

"Imunisasi adalah metode yang paling utama yang kita miliki untuk mencegah infeksi dan meningkatkan kesehatan" lanjutnya "Namun, seringkali, bila seseorang mendengar bahwa ada orang lain yang sakit, yang sakitnya mungkin berkaitan dengan pemberian vaksinasi. Memang kita ini adalah manusia, mempunyai kecenderungan selalu ingin mengkaitkan segala sesuatu dengan suatu kejadian. Seringkali vaksniasi dikaitkan, yang sebenarnya bukan demikian masalahnya. Kejadian demikian selalu menarik perhatian, maka adalah amat penting untuk meninjau dari jumlah yang besar, bukan dari satu atau dua kasus saja lalu menentukan bahwa vaksin terkait dengan kejadian yang tidak kita inginkan ini"    

..... one swallow dose not make a summer ....

Vaccine Saves Lives !





 

 

Friday, July 5, 2013

Berita Vaksin - DepKes Jepang Membatalkan Anjuran Vaksinasi HPV Untuk Remaja

Vaksin HPV

Pendahulaun
HPV Adalah suatu vaksin baru yang mulai banyak dipergunakan bagi remaja puteri, dan wanita dewasa sejak tahun 2006an hingga saat ini, telah banyak dipakai oleh banyak negara diseluruh dunia, termasuk di Indonesia.
Banyak data klinik tentang efektifitas jenis vaksin HPV ini untuk  mencegah kelaian dan keganasan yang penyebabnya adalah serotype tertentu virus HPV (serotype HPV6, HPV11, HPV16 dan HPV18), kelainannya berupa kanker pada alat genital dan reproduksi wanita, seperti kanker daerah serviks, kanker anus dan kanker penis, juga bahkan mencegah kanker di daerah orofarings tenggorokan dan mulut.  


UPDATED June 25, 2012 —  Pada minggu lalu, pemerintah Jepang telah menarik rekomendasinya untuk memberikan vaksinasi Human Papilloma Virus (HPV) kepada gadis remaja, sehubungan dengan rasa kuatir masyarakat terhadap efek simpang vaksin HPV, menurut laporan berita dimedia.  

Pengumuman ini sangat berlawanan dengan pernyataan resmi pejabat kesehatan dari Amerika Serikat bahwa cakupan vaksinasi HPV remaja puteri harus ditingkatkan setelah didapatkan kesimpulan dari suatu penelitian yang menyatakan efektifiitas vaksin HPV ini "tinggi"   

Departemen Kesehataan Jepang (The Japanese Ministry of Health, Labor, and Welfare), telah memberikan instruksi kepada pemerintah daerah untuk tidak mempromosikan pemakaian vaksin ini, sementara mereka sedang melakukan analisa berhubungan dengan efek samping vaksin, seperti misalnya rasa nyeri yang berlangsung cukup lama dan mati rasa atau perasaan baal pasca imunisasi HPV, menurut laporan surat kabar Jepang The  Asahi Shimbun.   

"Keputusan ini tidak berarti bahwa vaksin itu bermasalah dalam segi kemanannya" kata Mariko Momoi, yang mengepalai satuan tugas kementerian yang menangani masalah kontroversi ini. Dia juga adalah wakil presiden dari  the International University of Health and Welfare in O-tawara, Tochigi, Japang. "Dengan melakukan investigasi, kita ingin memberikan informasi objektif kepada khalayak yang akan membuat mereka menjadi lebih tenang"

Menurut sebuah laporan di the Japan Times, sejumlah 8.29 juta orang telah menerima imunisasi vaksin HPV hingga bulan December 2012, dan telah terjadi 1968 kasus yang berhubungan dengan kejadian efek simpang yang dilaporkan hingga bulan Maret 2013. Dari semua kajadian efek simpang ini, ada 106 yang digambarkan sebagai "kasus nyeri yang serius atau kejang, nyeri di persendian, atau mengalamii kesulitan untuk berjalan" 

Dari data dan angka tersebut diatas, maka terjadi 12.8 kasus efek simpang serius per 1 juta vaksinasi menurut  laporan tadi. Berbanding 0.9 kasus efek simpang seruis per 1 juta vaksinasi influenza di Jepang dan 2.1 kasus serius efek simpang per 1 juta vaksinasi polio vaksin suntikan. 
Namun jumlah efek simpang vaksin HPV ini akan lebih rendah bila dibandingkan dengan jumlah kasus serius vaksin Japaneses Encephalitis yang mencapai 26.0 kasus efek simpang serius per 1 juta vaksinasi. 

Menurut DepKes Jepang, berkat program vaksinasi teratur yang dilakukan selama ini, maka 7 jenis penyakit infeksi telah berhasil dikendalikan di Jepang, yakitu penyakit infeksi seperti penyakit diphtheri, penyakit poliomyelitis akut, penyakit campak atau measles, penyakit rubella atau penyakit campak Jerman, penyakit Japanese encephalitis, penyakit tetanus, dan penyakit influenza.  

Perhatian pemerintah Jepang kali ini bukan tertuju pada reaksi lokal, tetapi ditujukan pada reaksi sistemik pasca vaksinasi HPV. 

Perusahaan Merck sebagai pembuat salah satu vaksin HPV, telah mmemberikan tanggappan terhadap keputusan pemerintah Jepang

"Hingga saat ini belum ada bukti hubungan sebab akibat antara vaksin ini dengan efek simpang serius yng ditemukan, kami sungguh mengerti kecemasan yang dirasaakan banyak orang di Jepang. Sebagai tanggapan atas keputusan ini, kami akan terus bekerjasama dengan semua pihak terkait untuk terus memonitor dan verifikasi data keamanan hingga dimulainya lagi promosi pemakaian vaksin HPV secapatnya" menurut juru bicara perusahaan tersebut.

Di Jepang, baik quadrivalent vaksin Gardasil juga bivalent vaksin Cervarix, adalah resmi terdaftar di Jepang untuk pemakaian vaksinasi remaja puteri.


Apa Yang Terjadi Di Amerika Dengan Vaksin HPV ?

Sementara di Jepang dihentikan sementara promosi pemakaian vaksin HPV untuk remaja, sebaliknya di Amerika pejabat kesehatan menganjurkan pemakaian vaksin ini di tingkatkan.

Anjuran ini bersumber dari hasil penelitian yang diumumkan kemarin oleh US Centers for Disease Control and Prevention (US-CDC), yang memperlihatkan prevalensi penyakit yang disebabkan oleh jenis serotype yang tercakup dalam vaksin HPV telah menurun hingga 56% diantara wanita berusia 14 hingga 19 tahun semenjak vaksin HPV mulai diperkenalkan dan dipergunakan di Amerika pada tahun 2006.

"Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa serotype HPV penyebab kanker serviks telah berkurang hingga setengahnya pada remaja puteri sejak tahun 2006 adalah sangat mengejutkan, hasil ini jauh lebih baik dari yang kita harapkan, sehingga akan menjadi pendorong bagi kita untuk meningkatkan cakupan vaksinasi ini" kata direktur CDC Tom Frieden, MD, MPH, dalam wawancara telpon tentang uji klinik tersebut dengan Medscape Medical News

Berita ini  diliput secara luas oleh berbagai media, termasuk The New York Times, dalam berita liputan khusus berjudul 'Will Parents Still Turn Down an 'Anti-Cancer Vaccine?'

Di Amerika, vaksin HPV terdaftar dan di-indikasi-kan pemakaiannya pada  wanita sejak berusia dari 9 tahun hingga 26 tahun, dan izin pemakaian ini dikembangkan lagi hingga mencakup juga pemakaian vaksin HPV untuk anak lelaki dan pria dewasa untuk indikasi mencegah kutil alat kelamin dan kanker anus yang sering diakibatkan oeh jenis tertentu HPV (HPV serotype 6 dan 11).


Efek Simpang Pasca Vaksinasi Dengan Vaksin HPV

  • Sesuai dengan informasi pemakaian vaksin HPV jenis Quadrivalent (Merck), maka reaksi sitemik yang paling sering dialami oleh remaja puteri di Amerika adalah sakit kepala (28.2%) dan demam (13.0%), nyeri sendi (1.2%) dari semua penerima vaksinasi HPV jenis Quadrivalent ini.
Catatan : 
Dalam penelitian klinik vaksin HPV jenis Quadrvalent yang mencakup 29,323 wanita, maka sebanyak  0.04% pesertanya melaporkan mengalami efek simpang serius dan dinilai berhubungan dengan vaksinasi ini.   
 
  •  Sesuai dengan informasi pemakaian vaksin HPV jenis Bivalent (GlaxoSmithKline), maka reaksi sistemik yang paling sering dialami oleh gadis remaja di Amerika adalah rasa letih (54.6%) dan sakit kepala (53.4%), nyeri sendi  20.7% dari semua penerima vaksniasi HPV jenis Bivalent ini. 
Catatan :
Penelitain klinik vaksin HPV Bivalent mencakup16,381 wanita peserta, dan sebanyak 5.3% pesertanya mengalami efek simpang yang serius. 

 Berita Lanjutan Dari Jepang 
Di Jepang, gadis remaja masih bisa mendapatkan vaksinasi HPV secara cuma cuma. Meskipun saat ini, tenaga kesehatan pemberi vaksin harus memberitahu kepada calon penerima vaksin ini bahwa Departemen Kesehatan Jepang sudah tidak menganjurkan vaksinasi ini pada remaja puteri.
Hal ini  ditanggapi oleh perhimpunan orang tua di Jepang secara positif, dan mengatakan bahwa hak untuk  memberikan vaksinasi HPV ini adalah sepenuhnya keputusan orang tua dan anak mereka.

Apa Yang Terjadi Di  Indonesia ?
Sampai sejauh ini dari Departemen Kesehatan Republik Indonesia dan juga dari Satuan Tugas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (SatGas IDAI), belum ada instruksi atau arahan khusus tentang pemakaian vaksin HPV ini.

Jadwal vaksinasi vaksin HPV masih dianjurkan sesuai dengan rekomendasi anjuran pabrik pembuat vaksin, yang oleh instansi kesehatan kita telah disesuikan dengan situasi dan kondisi kesehatan masyarakat Indonesia. (http://idai.or.id/public-articles/klinik/imunisasi/jadwal-imunisasi-anak-idai.html)

Baca juga :
4 Hal Penting Mengenai Vaksin Human Papilloma Virus di  http://selukbelukvaksin.com/4-hal-penting-mengenai-vaksin-human-papilloma-virus/



Vaccine Saves Lives !

Source: www.selukbelukvaksin.com



     
 


  

 

  

Thursday, June 20, 2013

Berita Vaksin - Vaksin DTwP Whole-cell Lebih Baik Daripada Vaksin DTaP ?

 BERITA  VAKSIN - VACCINE   NEWS

Vaksin DTP Whole-cell Lebih Baik Daripada Vaksin DTaP ? 

 

Sejarah Perkembangan Vaksin DTP


Kalau kita ingat kembali tentang sejarah perkembangan vaksin DTP (vaksin untuk penyakit difteri, penyakit tetanus dan penyakit pertusis atau batuk rejan) yang dibuat sejak tahun 1941 sebagai vaksin pertusis yang monovalent (hanya berisi satu antigen saja). 
Baru pada tahun 1948 para ilmuwan bisa menggabungkan antigen kuman tetanus dan difteri dengan antigen kuman pertusis, menjadi satu vaksin kombinasi yang sangat terkenal dengan nama vaksin DTwP, yaitu vaksin untuk penyakit Tetanus, Difteri dan Pertusis. 

Dalam sejarah perkembangan ilmu Vaksinologi, maka vaksin DTwP ini adalah vaksin kombinasi yang pertama berhasil diciptakan oleh para ilmuwan.  Dan semenjak itu banyak sekali dipergunakan diseluruh dunia, dan vaksin ini berhasil menurunkan angka kesakitan dan angka kematian bayi akibat ketiga jenis penyakit menular ini. 

Diluar cerita sukses vaksin kombinasi DTwP ini, maka catatan medis tentang kejadian ikutan pasca imunisasi atau  KIPI vaksin kombinasi DTwP ini mulai bermunculan, dan efek simpang akibat vaksinasi dengan vaksin DTwP ini adalah reaksi demam yang cukup tinggi, bisa mencapai >38 derajat Celsius, selain itu juga sering disertai reaksi lokal ditempat kita menyuntikkan vaksin DTwP ini, yaitu tempat bekas suntikan akan menjadi merah, lebih hangat dan nyeri bila disentuh. Meskipun reaksi demam dan reaksi lokal ini akan menghilang sendiri dalam waktu hanya beberapa hari saja setelah pemberian vaksinasi DTwP ini.

Hal ini disebabkan vaksin DTwP yang dipergunakan masih mempergunakan seluruh komponen kuman Pertusis untuk membuat antigen vaksin DTwP ini, sehingga mempunyai efek reaktogenik (kemampuan menimbulkan efek simpang) yang lebih besar. 

Sehingga vaksin kombinasi DTwP yang mempergunakan seluruh komponen kuman Pertusis ini disebut atau dikenal sebagai vaksin DTwP, dimana huruf w ini artinya dari whole-cell atau sel utuh diambil dari seluruh komponen sel kuman Pertusis. 

Diluar efek reaktogenik yang berlebihan ini, ternyata efektifitas vaksin yang DTwP ini adalah bisa bertahan antara 6 hingga 12 tahun lamanya, sedangkan vaksin DTaP yang baru hanya akan bertahan antara 2 hingga 6 tahun saja setelah pemberian dosis vaksin yang terakhir.  

Konsekuensinya efektifitas vaksin DTaP ini seringkali telah berkurang atau bahkan hilang setelah bayi dan anak ini mencapai usia remaja dan dewasa. Ini yang menjadi faktor penyebab merebaknya kembali penyakit pertusis disuatu daerah dan pada bayi bila cakupan imunisasi bayi rendah, karena bayi ini tertular dari orang disekitar atau keluarganya yang tinggal serumah.  

Catatan : untuk mengatasi efek samping KIPI yang cukup mengganggu ini, para ilmuwan juga berhasil membuat vaksin DTaP kombinasi yang baru yaitu dimana antigen kuman Pertusis sudah dimurnikan, hanya diambil bagian kuman Pertusis  yang bermanfaat untuk membuat vaksin saja, sehingga efek samping jauh berkurang dibandingkan dengan vaksin DTwP yang pertama. Vaksin kombinasi baru ini bernama DTaP dipergunakan secara luas sejak 1990.    

Karena efektifitas yang ditimbulkan oleh kedua jenis vaksin ini berbeda, maka sering kali kita mendapatkan bahwa bayi tertular penyakit pertusis ini dari ibunya atau anggota keluarga yang serumah, misalnya kakak atau saudara sepupuh atau paman bibi dan kakek nenek bayi tersebut. Ternyata dari anggota keluarga yang pernah mendapatkan vaksinasi pertusis semasa kecil, efektifitas vaksin telah berkurang atau bahkan hilang, sehingga anggota keluarga ini menjadi pembawa kuman pertusis bagi bayi yang baru lahir ini.   

Fakta terakhir yang diungkapkan adalah bahwa vaksin DTwP yang whole cell ini lebih baik daripada vaksin DTaP yang a-cellular, dalam hal lama bertahannya efektifitas vaksin dalam mencegah penyakit pertusis. 

Dalam satu kejadian di Amerika, para peneliti mengevaluasi resiko tertular penyakit pertusis pada kelompok anak berusia 10 hingga 17 tahun, pada saat kejadian luar biasa / KLB pertusis di California pada tahun 2010 - 2011 yang lalu. Mereka menelusuri kembali jenis dan dosis vaksin pertusis yang pernah diberikan kepada kelompok bayi dan anak usia tersebut diatas.  

Ternyata anak dan remaja yang mendapatkan 4 dosis vaksin pertusis jenis DTaP adalah kelompok yang memiliki resiko 6 kali lebih besar terkena penyakit pertusis dibandingkan kelompok remaja dan anak yang mendapatkan 4 dosis vaksin pertusis jenis DTwP. 

Sedangkan bayi dan remaja yang mendapatkan 4 dosis vaksin pertusis campuran (vaksinasi dengan jenis DTaP juga dengan jenis DTwP) akan memiliki resiko 4 kali lebih sering terkena penyakit pertusis daripada kelompok yang hanya menerima jenis vaksin DTwP saja. 

Sehingga sekarang mulai  disuarakan oleh para ilmuwan untuk mencari vaksin anti penyakit pertusis yang efektifitasnya bisa bertahan lama, atau kalau mungkin adalah vaksin pertusis yang efektifitasnya bisa bertahan seumur hidup namun tetap aman untuk diberikan kepada bayi hingga remaja. 





Vaccine Saves Lives ! 


Source: http://leokurniawan.blogspot.com 
 


Friday, March 22, 2013

BERITA VAKSIN - Ilmuwan Menemukan Jenis Protein Diduga Sebagai Biomaker Kelainan Autisme

BERITA  VAKSIN - VACCINE   NEWS

Ilmuwan Menemukan Jenis Protein Diduga 

Sebagai Biomaker Kelainan Autisme 


Hingga saat ini para ilmuwan belum berhasil menemukan cara yang bisa dipergunakan untuk memecahkan teka teki tentang bagaimana terjadinya kelainan Autisme pada seorang bayi.   

Ilmuwan bernama Gary Steinman, dari Touro College of Osteopathic Medicine, baru baru ini telah berhasil menemukan koneksi yang kuat antara Autisme dengan sejenis protein, sebuah biomaker protein yang diketemukan didalam darah tali pusat janin (umbilical cors), yang mungkin memberi secercah sinar untuk harapan menemukan jawaban mengapa kelainan Autisme hanya terjadi pada bayi tertentu saja.  

Telah diketahui bahwa sejenis protein yang diberi nama Insuline-Like Growth Factor (IGF), yang bisa merangsang jenis sel otak tertentu untuk memproduksi selubung myelin - yaitu semacam zat isolator yang meliputi saraf yang sedang bertumbuh. Selebung myelin ini membantu sel otak untuk menghantarkan rangsangan impuls saraf untuk bermacam fungsi tubuh, misalnya untuk fungsi gerakan, fungsi sensoris (merasakan mengecap dan mencium) dan fungsi emosi.  
Jika kekurangan bahan IGF ini, maka sel saraf tidak akan terbentuk zat myelin dalam jumlah yang memadai dan mencukupi kebutuhan sel otak, sehingga bisa menyebabkan gangguan perkembangan alur hantaran rangsangan impus saraf otak. 
Maka ilmuwan yang bernama  Steinman ini berkesimpulan bahwa penelitian tentang mekanisme terjadinya Autisme pada anak harus dipusatkan pada level jumlah IGF pada bayi neonatus. 

Dalam sebuah artikel yang diterbitkan di Medical Hypotheses, Steinman mengusulkan pengambilan darah dari tali pusat janin yang dilahirkan untuk mengukur kadar IGF ini. 
Data yang berhasil dikumpulkan akan dibandingkan dengan analisa neurologi pada masa bayi baru berusia 18 hingga 26 bulan didalam kandungan untuk mengetahui apakah jumlah IGF yang rendah akan memberi prediksi akan terjadinya kelainan Autisme pada bayi tersebut.  
Jika penelitian ini membuktikan kebenarannya, maka mulai saat ini para ilmuwan bisa mulai mendeteksi kadar IGF yang rendah melalui cairan ketuban dan menghindarkan kemungkinan akan terjadinya kelainan Autisme bayi, semasa kehamilan sedang berlangsung.   

"Masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengeathui apakah pengobatan pada masa awal kehamilan dengan kadar IGF yang rendah yang mempunyai tendensi menyebabkan terjadinya kelaianan Autisme, bisa memperbaiki dan merobah keadaan patologi demikian" kata Steinman

Di Amerika, sekitar 125 kasus baru kelainan Autisme yaang terjadi setipa hari. Itu adalah sekitar 1 bayi dari 88 orang bayi yang lahir hidup. Saat ini belum ada pengobatan atau pencegahan yang dapat diberikan untuk kelainan Autisme, sehingga dengan kita mengerti dan memahami biomaker kelainan Autisme ini lebih baik, mungkin akan memberikan jawaban bagi  kita untuk bagaimana mencegah dan mengatasi kelainan Autisme ini lebih baik dimasa depan...